Sabtu, 02 Juni 2012

Lima Roti dan Dua Ikan

Yohanes 6 : 8 - 13

(8) Seorang pengikut Yesus yang lain, yaitu Andreas, saudara Simon Petrus, berkata, (9) "Di sini ada anak laki-laki dengan lima roti dan dua ikan. Tetapi apa artinya itu untuk orang sebanyak ini? (10) "Suruhlah orang-orang itu duduk," kata Yesus. Di tempat itu ada banyak rumput, jadi orang-orang itu duduk di rumput--semuanya ada kira-kira lima ribu orang laki-laki. (11) Kemudian Yesus mengambil roti itu, lalu mengucap syukur kepada Allah. Sesudah itu Ia membagi-bagikan roti itu kepada orang banyak. Kemudian Ia membagi-bagikan ikan itu, dan mereka makan sepuas-puasnya. (13) Lalu mereka mengumpulkan dua belas bakul penuh kelebihan makanan dari lima roti yang dimakan oleh orang banyak itu.

Kisah ataupun cerita Lima Roti dan Dua Ikan, sangat familiar di telinga terutama di lingkungan anak-anak sekolah minggu. Anak-anak akan tahu persis cerita tersebut karena cerita itu telah diubah menjadi sebuah lagu :

Lima roti dan dua ikan
Diberkati oleh Tuhan
Dimakan lima ribu orang
Sisa 12 keranjang

Cerita yang mengisahkan dimana Yesus memberi makan lima ribu orang dengan lima roti dan dua ikan, setelah diberkati oleh Yesus maka lima roti dan dua ikan mampu mencukupi akan kebutuhan makan bagi 5000 orang, dan sisa dari makanan tersebut setelah dikumpulkan ada 12 keranjang. Sebuah mujizat telah terjadi dan anak-anak bahkan kadang orang dewasapun dibuat kagum akan kisah tersebut. Hebat !!

Namun sering kali tanpa kita sadari, kita seringkali terkesima akan hal-hal yang bersifat spektakuler, layaknya sebuah pertunjukan sulap, yang menghiburkan hati kita terutama mata kita, dan dari hal-hal yang spektakuler tersebut kita baru meyakini bahwa seseorang yang telah melakukan pekerjaan tersebut adalah orang hebat (Jadi ingat The Master kalau gini si Limbart dan teman-temannya ). Pekerjaan Yesus dipandang seperti pertunjukan sulap gratis di padang gurun, sebagai hiburan setelah penat melakukan perjalan jauh dari rumah untuk mendengar pengajaran Yesus.
Saat ini saya tidak akan berbicara dari sudut Historis kritis, maupun exegese dan segala sesuatu yang berhubungan dengan hal-hal teologi, saya ga tahu( itu bagian suami saya, bagian saya merenung ). Saya hanya merenung, terutama kepada si pemberi 5 roti dan 2 ikan

Jika diamati dari bacaan sebelumnya, bahwa saat itu dikatakan terdapat sekumpulan orang kurang lebih 5000 orang dewasa, belum termasuk anak-anak. Yang mengikuti Yesus untuk mendengarkan ajaran Nya. Namun mengapa ketika ada urusan logistic yang mendesak, hanya satu orang yang berani memberikan bekalnya untuk dibagikan kepada orang lain yang berjumlah 5000 orang dan bekal itu milik seorang anak. Buat saya ini adalah pekerjaan hebat. Justru dari sinilah awal mula mujizat itu. Si anak kecil membuka jalan agar mujizat itu terjadi. Jika si anak ini tidak memberikan bekalnya, tak akan ada kisah 5 roti dan 2 ikan dimakan 5000 orang sisa 12 keranjang. Jika peristiwa di padang gurun itu di bikin rumus naka kan menjadi sebuah persamaan seperti di bawah ini :
( 5 + 2 ) : 5000 = 5000 + 12 keranjang

Mengamati dan memikirkan akan tindakan anak kecil itu, membuat sebuah pertanyaan baru bagi diri saya pribadi. Jika pada masa itu saya ada , mungkinkah saya akan memberikan bekal saya kepada Yesus untuk dibagikan kepada orang banyak? Bisa jadi inilah sikap saya

“ Bentar ah nunggu yang lain, kalau yang lain ga kasih, aku juga ga akan kasih ”

Atau

“biar orang lain saja yang kasih, jangan saya”

atau

“ Wah ..kayaknya ga usah kasih aja, bekallku kan Cuma dikit, lagian ini juga aku bagi untuk anakku dan suamiku mana cukup kalau dibakikan ke orang lain? Jangan-jangan keluargaku malah kekurangan “

Atau

“ emang gue pikirin, belum tentu lo lo pada mikirin gue, enak aja”

Atau

“ sudahlah diem aja pura-pura ga tahu, umpetin aja nih bekal”
Atau masih banyak sikap lain yang berorientasi kepada “ JANGAN SAYA”

Lebih enak untuk tidak mengambil bagian, dan menunjuk orang lain. Sebab jika mengambil bagian berarti saya akan menerima konsekuensi yakni kekurangan. Biarlah orang lain yang berkorban dan bukan saya. Saya sudah banyak beban serta masalah dan jangan dibebani hal-hal lain yang bukan urusan saya. Kalau bisa jangan menambah urusan saya, syukur kalau bisa bantulah semua permasalahan saya.

Sikap berpusat kepada kepentingan diri sendiri mulai terbentuk seirama dengan rasa aman yang mulai terkikis yang berakibat mempunyai sikap “ BERANI MENGORBANKAN ORANG LAIN DEMI RASA AMAN DIRI”
Kembali saya merenung dan berfikir, bahwa sebenarnya yang menjadi actor utama dari peristiwa itu adalah si anak yang telah memberikan bekalnya. Bukan Yesus atapun murid-murid Nya. Setiap saat mujizat itu senantiasa terjadi dan ada dimana-mana karena memang Tuhan Maha Kuasa, mampu membuat mujizat. Akan tetapi mujizat bisa terwujud jika ada media penghantarnya. Seperti si anak kecil tersebut, dia menjadi penghantar dari sebuah mujizat sehingga 5000 orang tidak mati kelaparan dan mujizat itu dapat terjadi bermula dari sebuah “ HATI MEMBERI”

Hati memberi, sebuah gambaran hati yang ikhlas, yang tidak mementingkan “AKU” melainkan mempunyai kecenderungan mementingkan “KAMU”. Ini bukanlah perkara yang mudah karena seringkali kita mempunyai kepentingan-kepentingan yang berhubungan dengan AKU. Kepentingan-kepentingan yang terbungkus oleh sikap-sikap kekuatiran dan ketakutan, yang didukung oleh rasional kita yang mengatasnamakan sikap bijkasana. Andai si anak kecil itu memakai sikapnya berdasarkan rasio, bisa saja dia membatalkan niatnya untuk memberikan bekal yang dia punya. Namun kita melihat bahwa hal itu tidak terjadi demikian.

Sikap anak kecil itu telah memberi sebuah pelajaran, bagaimana mempunyai sikap berbagi dalam kondisi yang minim. Dan bagaimana Tuhan bekerja dalam sikap hati yang ikhlas. Bahwa di dalam Tuhan apa yang kita kerjakan bukanlah sebuah kesia-siaan. Segala sesuatu akan menjadi sia-sia jika kita mengandalkan kekuatan kita sendiri. Itu menjadi sebuah tantangan jika dalam satu kondisi, kita sendiri punya kondisi pas-pas an kemudian ada sodara atau teman yang membutuhkan bantuan kita, bagaimana sikap kita?

Tidak ada komentar: