Sabtu, 31 Juli 2010

klepretan

Waktu istirahat tiba, aku menikmati makan malam bersama temanku. Sambil berbincang-bincang kecil tiba-tiba dia bertanya,

“mbak, kamu orang jawa?”

“iya, kenapa memang?’

“ya pingin tahu saja. Mbak ini jawa asli?” lanjutnya

“iya” jawabku pendek sambil mengunyah

“aku ga percaya…, mbak benar-benar jawa tulen?” dan dia untuk sesaat menghentikan makannya dan menunggu jawaban dariku

Aku mulai agak sedikit terganggu dengan pertanyaannya

“kenapa sih?” agak senewen juga aku menjawabnya

“wajah jawa asli dan jawa ga asli kan beda mbak, kalau aku lihat wajah mbak ini bukan jawa asli”

“hmmmm, yang jelas eyang putriku masih keturunan tionghoa” kataku sambil menggigit lauk.”

“itu yang aku maksud” katanya sambil tersenyum, “sebab wajah mbak masih ada cina-cinanya”

“ga juga, aku item, pesek”

“yaah..mbak ini, kan wajah jawa asli dan campuran beda, seperti wajah teman-teman yang lain yang campuran” kemudian dia menyebut nama-nama teman kami yang masih campuran jawa-tionghoa

Aku hanya terdiam. Perbincangan kecil bersama temanku yang aku anggap ga mutu waktu makan malam di kantor, membawa satu pemikiran tersendiri ketika aku pulang. Memang benar ibuku menikah dengan laki-laki Jawa asli, tapi berhubung eyang putri dari ibu masih keturunan tionghoa, maka sisa-sisa itu masih menempel juga di diriku, adik kandung dan sepupu-sepupuku. Bahkan adikku selalu dikira orang Menado ketimbang orang Solo, tak ada yang percaya kalau dia adalah orang Solo.

Sebuah genetika yang diturunkan, meskipun sudah melalui beberapa generasi, ternyata mash dapat terdeteksi hingga kebeberapa generasi di bawahnya, meskipun dalam hal ini sudah terjadi percampuran yang berbeda dari gen mula-mula. Hukum Mendel tetap berlaku.
Lebih jauh kemudian aku berfikir, bahwa tidak hanya fisik saja yang bisa diturunkan oleh leluhur kita, sehingga kita masih mempunyai cirri-ciri seperti mereka, namun terlebih keberadaan hidup mereka juga ikut diturunkan kepada kita. Pikiranku kemudian melayang kepada keberadaan hidup seseorang. Bilamana seseorang itu telah dicap sebagai sesuatu, entah baik atau buruk, maka secara reflek orang-orang akan menyebutnya demikian,

“itu kan anaknya si A yang …, itu kan cucunya si A yang…, itu kan buyutnya si A yang …, itu kan cangaghnya si A yang…”
dan seterusnya sampai entah orang tak akan mengingatnya lagi

Salah seorang teman, di lingkungan keluarganya mempunyai suatu rutinitas acara keluarga, yakni arisan keluarga; keluarga besar trah Joko Tingkir. Ketika mereka berkumpul, satu gedung bisa penuh terisi keluarga besar tersebut. Entah sampai keturunan yang keberapa temanku sendiri sampai tidak tahu

“aku tidak kenal mereka” katanya.

Satu hal yang dapat dilihat, mereka semua bangga disebut sebagi keturunan Joko Tingkir. Sebuah keluarga dari trah yang terhormat,dan mereka boleh ikut menyandang kehormatan itu sampai cicit-cicitnya. Kenapa mereka bisa bangga menjadi bagian dari keluarga Joko Tingkir? Dan terang-terangkan mengatakan serta dgn bangga mengatakan “aku masih trah/keturunan Joko Tingkir” Tentunya hal itu tak luput dari keberadaan hidup Joko Tingkir yang mempunyai “nama” dimasanya. Joko Tingkir, adalah pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1549-1582, bergelar Sultan Adiwijaya.. Namun apabila keberadaan Joko Tingkir dulu berlawanan dari kehidupannya misalkan sebagai seorang buron, koruptor, pengkianat, pembunuh dan sebagainya, masihkan keturunannya akan mengklaim dengan bangga “ aku keturunan Joko Tingkir?”

Tanpa disadari keberadaan diri seseorang dimasa sekarang merupakan investasi di masa yang akan datang yang akan tetap melekat kepada keturunannya, seolah itu sebagai genetika, sama seperti keberadaan eyang saya yang keturunan tionghoa, klepretannya masih saya terima sampai sekarang. Jika menghendaki keturunan kita bangga terhadap diri kita, tentunya saat ini kita sudah mulai mempersipakan, hidup yang bagaimana yang hendak kita wariskan? Kehidupan yang baik merupakan investasi jangka panjang yang berharga, sehingga tak perlu disesali jika suatu ketika kita berbuat baik, namun tak mendapatkan balasan yang sepadan, sebab dengan berkemampuan berbuat baik, sebenarnya kita telah membentuk suatu sikap metal baik bagi diri sendiri yang kemudian kita teruskan kepada keturunan selanjutnya, Mental yang baik akan membentuk sebuah generasi yang baik dan itu merupakan cikal bakal sebuah lingkungan yang baik, itulah imbalannya, dimasa yang akan datang kita menciptakan sebuah lingkungan yang mempunyai sikap mental yang baik yang telah kita bentuk mulai sekarang.

Kita akan sangat bangga jika keturunan kita juga bangga akan keberadaan hidup kita. Apakah kita tak pedih jika anak cucu kita mengatakan

“orang tuaku koruptor, eyangku pembunuh, eyang buuyutku pemabok “

Maka berinvesatsilah nama baik untuk jangka panjang, karena itu jauh lebih berharga daripada permata se gunung

Tidak ada komentar: