Sabtu, 31 Juli 2010

batu sandungan

Sore menjelang , saat mentari mulai beranjak, bergulir ke peraduan, dan tergantikan rembulan. Angin malam mulai mendesah, menyapa pucuk-pucuk daun dan timbulkan gemerisik resah..ciap kelelawar warnai pula akan hadirnya malam tiba. Kututup jendela dan pintu, sebagai tanda istirahat menjelang. Di ruang makan, aku siapkan makan malam, nasi, sayur, lauk pauk, serta piring aku tata sedemikian. Ala kadarnya, namun ada nilai gizi yang tercipta.

" Mas Iyo..." aku panggil anak lanangku yang baru berusia 6 tahun itu. Nama lengkap dia Wenang Mukti Satrio Wibowo, namun kami panggil di dengan sebutan Iyo. Simpel dan familiar.

" Iya ma..."

" Makan dulu nak..setelah makan baru belajar ya..."

Kulihat dia beranjak dari depan tv dan menuju ke ruang makan makan dan duduk di kursi. Kulihat dia berjalan agak pincang. Lantas kutanya,

" Kenapa kakimu?"

" Ga apa..apa kok ma.." jawabnya pendek, sambil tangannya minta piring dan minta diambilkan nasi serta lauk pauk.

" Ga boleh bohong lho..." ucapku sambil menyerahkan sepiring nasi lengkap yang dia minta. Dalam kepolosan matanya dia memandang ke arahku..

" Kalau aku cerita...mama ga marah? "

" Mama ga marah...cerita aja" jawabku meyakinkan sambil mendekati mengambil tempat duduk disamping kursinya.

" Ma..tadi siang waktu aku main di tempat mbak Putri aku jatuh, aku tersandung batu "

aku lihat matanya mulai berkaca-kaca, dia menahan tangis, aku tahu pasti, dia menahan sakit, dan dia pun tahu bahwa peristiwa akibat kecerobohan serta ketidak hati-hatian sendiri dia ga boleh menangis.

" Hmmm....."

" Lha itu gara-gara mbak Putri....Putrek nyuruh teman-teman ninggalin aku, trus mereka lari sembunyi, aku ditinggal sendiri tadi di sawah "

matanya mulai berkaca-kaca menahan emosi dan sakit. Dia kalau sudah jengkel akan mengganti nama temannya menjadi celaan, Putri jadi Putrek, Bima jadi Bimek..Dafa jadi Dafek dan seterusnya

" Hmmm..."

" Tapi batunya juga nakal...dia ada ditengah jalan, jadi waktu aku lari aku tersandung dan jatuh..."

Aku lihat kakinya, dilututnya terlihat goresan dan radang. Aku berjongkok dan memeriksanya

" Mama obati ya..biar kakimu sembuh, kalo sakit harus segera diobati, biar ga bertambah sakit"

Dan dalam olesan Betadine yang aku berikan, dia menangis kencang...netah menangis kesal, entah menangis yang tadi siang tertahan, entah menangis karena sakit...yang kutahu sekarang dia lega bisa menangis.

Tersandung bukanlah suatu kejadian atau hal istemewa dalam kehidupan kita. Kita sering sekali mengalaminya. Entah itu tersandung dalam konteks harafiah, tersandung batu, atau dalam konotasi yang lain. Yang intinya adalah tersandung. Satu hal yang penting yang perlu kita cermati saat kita tersandung, adalah dalam sikap. Apakah kita akan :

1. Menyalahkan kepada hal-hal yang menjadi batu sandungan?
2. Menyalahkan orang lain sehingga kita tersandung?
3. Menyadari bahwa ada batu yang telah membuat kita tersandung, dan kemudian mulai berhati-hati supaya tidak tersandung untuk kesekian kalinya.

Kedewasan jiwa dan mental ternyata memegang peranan penting terhadap cara pandang dan sikap jika seseorang tersandung. Bersikap bijaksana serta waspada, sehingga tidak mudah untuk mencari kambing hitam terhadap hal-hal yang terjadi atas dirinya, bila dia tersandung meskipun secara nyata tahu bahwa memang ada batu sandungan yang sengaja diletakkan untuk dirinya.

Namun yang lebih mulia adalah, jangan pernah menjadi batu sandungan bagi orang lain, ataupun sengaja menjadi batu sandungan bagi orang lain sehingga orang lain menjadi celaka. atas sikap dan tingkah laku kita. Alangkah mulianya jika kita bisa menjadi wangi didalam keamisan, menjadi terang di dalam kegelapan, menjadi makanan di dalam kelaparan, menjadai minum di dalam kehausan, menjadi berguna bagi sesama.

Kita tercipta bukan tanpa maksud, maka carilah maksud atas penciptaan kita. Selamat menikmati hidup di dunia. Tuhan memberkati. Amien

Tidak ada komentar: