(hasil perenunganku di kala sendirian)
Bacaan Alkitab : Daniel 1 : 6-9 ; 18-20
Ayat Nats : Ulangan 6 : 6-9
Bacaan Alkitab : Daniel 1 : 6-9 ; 18-20
Ayat Nats : Ulangan 6 : 6-9
Kisah Daniel adalah kisah seorang anak muda Yahudi yang hidup di pembuangan Negara Babel. Negara Babel merupakan Negara yang mempunyai budaya yang bertolak belakang dengan kehidupan bangsa Yahudi, dimana berhala-berhala dijadikan Tuhan dalam kehidupan mereka, dan penyembahan terhadap berhala ini merupakan suatu cara hidup yang najis bagi bangsa Yahudi, dimana mereka mengakui hanya Tuhanlah yang layak untuk disembah, dan bukan berhala.
Namun bagi Daniel dengan ke 3 temannya, kehidupan kota Babel yang penuh dengan kenajisan ini tidak mampu melunturkan keyakinan kehidupan mereka yang telah terbentuk di lingkungan Yahudi. Hal ini nampak di ayat 8 “ Daniel berketatapan untuk tidak menanjiskan dirinya dengan santapan raja; dimintanyalah kepada pemimpin pegawai istana itu, supaya ia tak usah menajiskan diri”
Bagi seseorang yang berfikir secara instan dan gampang, siapa yang yang tak akan tergoda dengan makanan raja? Makanan yang penuh kelezatan dan menggiurkan, makanan yang disantap raja dan merupakan symbol prestise bagi siapa saja yang turut serta menyantapnya, dan ini juga mempunyai suatu pengkondisisan bahwa siapa yang menyantap makanan raja, mempunyai kesetaraan dengan raja. Siapakah orang yang tidak suka dengan predikat demikan? Apalagi di sebuah lingkungan baru yang jauh dari tanah airnya. Mendapatkan sebuah perlakuan yang istemewa tentu adalah sebuah kebanggaan.
Namun tidak demikan dengan Daniel. Dia memilih untuk tidak ikut terlibat dalam menyantap santapan raja, alasannya ialah, bahwa makanan dan minuman ini sangat mungkin sudah dipersembahkan kepada dewa-dewa menurut agama Babel dan memakan makanan demikian menurut pikiran Daniel akan melakukan dosa penyembah berhala.
Jika dilihat dari sisi strategis, sebenarnya Daniel syah untuk menikmati apa yang telah disuguhkan, dia adalah orang pilihan raja. Sebagai orang buangan mendapat rahmat dari raja untuk menyantap makanan raja adalah sebuah kehormatan besar dan itu juga merupakan sebuah perlindungan, mengingat dia adalah orang buangan dimana negaranya sedang mengalami penjajahan. Namun sebuah pilihan untuk mempertahankan iman dia lakukan. Sebuah sikap dia ambil demi menjaga kesucian diri.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana orang muda ini demikian gigih dan kuat untuk memperjuangkan imannnya di negara asing, dan bisa juga sebuah perjuangan mempertahankan iman ini akan berujung kepada kematian karena dianggap menentang perintah raja. Dari mana Daniel dan teman-temannya mempunyai jiwa yang patriotic terhadap ajaran budayanya yakni budaya Yahudi yang selalu mengutamakan Tuhan sebagai pusat kehidupan dan pemerintahan. Apa yang menjadikan mereka berani untuk negosiasi dengan pegawai istana supaya mereka hanya memakan air dan sayur?
Nampaknya sikap takut akan Tuhan tidak semata mata hanya sebuah keyakinan yang dangkal bagi bangsa Yahudi. Mereka menjadikan bahwa takut akan Tuhan telah menjadi sebuah karakter dan budaya dalam kehidupan mereka. Dan bagaimanakah karakter itu terbentuk? Bahwa sesungguhnya karakter adalah kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan setiap detik dalam setiap kehidupan manusia. Kita bisa melihat dalam ayat nats, bahwa bangsa Yahudi telah membentuk karakater takut akan Tuhan melalui pembiasaan hidup setiap hari. Apa saja yang telah mereka kerjakan sehingga budaya itu mengakar kuat dalam kehidupan mereka?
1. Memperhatikan perintah Tuhan ( ayat 6)
Perintah mengenai Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Bahwa perintah ini adalah sesuatu yang diutamakan yang mendapat perhatian utama dan khusus, perintah akan mengasihi Tuhan adalah melebihi segala-galanya dalam hidup. Penekanan ini adalah sangat penting, mengingat bahwa pemiik kehidupan ini adalah Tuhan maka sikap hidup yang utama adalah takut akan Tuhan
2. Mengajarkan berulang-ulang kepada anak ( ayat 7 )
Ajaran tentang kasih dan tajkut akan Tuhan senantiasa dibicarakan kapan saja dan dimana saja, jika sedang duduk dalam rumah, sedang berjalan dalam perjalanan, ketika berbaring di tempat tidur hendak tidur, dan saat bangun tidur sekalipun. Pengajaran tentang kasih dan takut akan Tuhan senantiasa dibicarakan tak pernah putus di dalam sepanjang waktu saat matahari terbit sampai matahari terbenam, dalam bahasa Jawa ada istilah lambe sak tumang kari sak merang. Bahwa mengajarkan tantang kasih dan takut akan Tuhan tidak boleh berhenti barang sedikitpun
3. Menjadikan sebuah pedoman ( ayat 8 )
Ajaran-ajaran Tuhan harus melekat secara reflek baik di hati maupun dalam pikiran, sehingga itu menjadi sebuah pedoman yang baku setiap melangkah dalam kehidupan
4. Dibakukan dalam bentuk hukum tetulis ( ayat 9 )
Dan agar mempunyai kekuatan, maka semua ajaran itu dituliskan dan dijadikan sebagai undang-undang dasar
Nampakanya pola duplikasi yang dilakukan oleh bangsa Yahudi dari tahun ke tahun membuahkan hasil, Terbukti setelah sekian tahun dan sekian generasi kebiasaan yang dilakukan di masing-masing rumah tangga telah membentuk sebuah budaya bangsa, dan itu telah membentuk sebuah karakter bangsa yang kuat, yang sulit sekali untuk dikikiis mesti oleh sebuah kondisi yang mengiurkan sesaat.
Pertanyaan kita saat ini, kebiasan apa yan telah kita bentuk dalam keluarga kita masing-masing? Dan bagaimanakah proses duplikasinya? Kira-kira sampai tingkat generasi keberakah duplikasi tentang budaya yang kita berikan bisa bertahan? Generasi 1..ke 2..ke 3..apa samapi berabad-abad seperti orang Yahudi?
Sebenarnya bukan suatu kondisi yang mengherankan jika banyak orang tua yang merasa cemas jika anak-anaknya harus sekolah ataupu bekerja di kota besar, metropolitan seperti Jakarta. Alasan utama bukan karena biaya hidup melainkan karena lingkungan. Lingkungan kota metropolitan yang demikian dasyat, membuat para orang tua menjadi ngeri, jangan-jangan anak-anak nya akan ter erosi oleh pola budaya dan kehidupan orang kota yang penuh dengan kebebasan dan ujung-ujungnya adalah pengrusakan mental dan moral.
Jika hal itu yang telah menjadi sebuah kekuatairan masing-masing keluarga Kristen, hal itu memberikan suatu indikasi bahwa duplikasi terhadap ajaran takut akan Tuhan belum se kuat yang dimiliki oleh orang Yahudi. Bisa jadi kebiasaan yang dibentuk di dalam masing-masing keluarga adalah sekedar hanya dan belum sampai dalam suatu kedisplinan mental tentang ajaran takut akan Tuhan
Ini merupakan PR bagi keluarga Kristen, apalagi menghadapi situasi lingkungan yang sudah tidak terkendali seperti sekarang ini. Dimana krisis mental dan moral terjadi disana sini. Pembunuhan terhadap sesama sudah dianggap hal yang biasa. Rasa kemanusiaan sudah tidak ada lagi. Tugas kita untuk memperbaiki system pembelajaran dalam keluarga tentang takut akan Tuhan. Kita bisa mencontoh kehidupan bangsa Yahudi bagaimana mereka menanamkan konsep takut akan Tuhan dalam keluarga mereka sehingga kebiasaan itu membentuk karakter dan budaya bangsa dan kemudian didapati pemuda pemuda yang benar-benar tangguh dalam hal iman seperti Daniel dan teman-temannya. Jika kita mendapatkan anak cucu kita seperti Daniel masih takutkah kita melepaskan mereka ke tempat-tempat yang kita anggap mengerikan. Jawabnya pasti tidak.
Dengan pola kebiasaan dalam keluarga tentang pembelajaran takut akan Tuhan, maka mencetak sosok generasi seperti Daniel bisa tercapai. Seperti stalaktit dan stalamit terbentuk karen tetesan air kapur beribu-ribu tahun, demikian juga karakater dan budaya takut akan Tuhan dapat terbentuk jika masing-masing keluarga membiasakan untuk mengajarkan dan mengaplkasikan dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari tanpa jemu. Belum terlambat, mari kita segera memulai supaya generasi kita tidak punah oleh keganasan lingkungan
Tuhan memberkati
salam
nia
Namun bagi Daniel dengan ke 3 temannya, kehidupan kota Babel yang penuh dengan kenajisan ini tidak mampu melunturkan keyakinan kehidupan mereka yang telah terbentuk di lingkungan Yahudi. Hal ini nampak di ayat 8 “ Daniel berketatapan untuk tidak menanjiskan dirinya dengan santapan raja; dimintanyalah kepada pemimpin pegawai istana itu, supaya ia tak usah menajiskan diri”
Bagi seseorang yang berfikir secara instan dan gampang, siapa yang yang tak akan tergoda dengan makanan raja? Makanan yang penuh kelezatan dan menggiurkan, makanan yang disantap raja dan merupakan symbol prestise bagi siapa saja yang turut serta menyantapnya, dan ini juga mempunyai suatu pengkondisisan bahwa siapa yang menyantap makanan raja, mempunyai kesetaraan dengan raja. Siapakah orang yang tidak suka dengan predikat demikan? Apalagi di sebuah lingkungan baru yang jauh dari tanah airnya. Mendapatkan sebuah perlakuan yang istemewa tentu adalah sebuah kebanggaan.
Namun tidak demikan dengan Daniel. Dia memilih untuk tidak ikut terlibat dalam menyantap santapan raja, alasannya ialah, bahwa makanan dan minuman ini sangat mungkin sudah dipersembahkan kepada dewa-dewa menurut agama Babel dan memakan makanan demikian menurut pikiran Daniel akan melakukan dosa penyembah berhala.
Jika dilihat dari sisi strategis, sebenarnya Daniel syah untuk menikmati apa yang telah disuguhkan, dia adalah orang pilihan raja. Sebagai orang buangan mendapat rahmat dari raja untuk menyantap makanan raja adalah sebuah kehormatan besar dan itu juga merupakan sebuah perlindungan, mengingat dia adalah orang buangan dimana negaranya sedang mengalami penjajahan. Namun sebuah pilihan untuk mempertahankan iman dia lakukan. Sebuah sikap dia ambil demi menjaga kesucian diri.
Yang menjadi pertanyaan, bagaimana orang muda ini demikian gigih dan kuat untuk memperjuangkan imannnya di negara asing, dan bisa juga sebuah perjuangan mempertahankan iman ini akan berujung kepada kematian karena dianggap menentang perintah raja. Dari mana Daniel dan teman-temannya mempunyai jiwa yang patriotic terhadap ajaran budayanya yakni budaya Yahudi yang selalu mengutamakan Tuhan sebagai pusat kehidupan dan pemerintahan. Apa yang menjadikan mereka berani untuk negosiasi dengan pegawai istana supaya mereka hanya memakan air dan sayur?
Nampaknya sikap takut akan Tuhan tidak semata mata hanya sebuah keyakinan yang dangkal bagi bangsa Yahudi. Mereka menjadikan bahwa takut akan Tuhan telah menjadi sebuah karakter dan budaya dalam kehidupan mereka. Dan bagaimanakah karakter itu terbentuk? Bahwa sesungguhnya karakter adalah kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan setiap detik dalam setiap kehidupan manusia. Kita bisa melihat dalam ayat nats, bahwa bangsa Yahudi telah membentuk karakater takut akan Tuhan melalui pembiasaan hidup setiap hari. Apa saja yang telah mereka kerjakan sehingga budaya itu mengakar kuat dalam kehidupan mereka?
1. Memperhatikan perintah Tuhan ( ayat 6)
Perintah mengenai Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Bahwa perintah ini adalah sesuatu yang diutamakan yang mendapat perhatian utama dan khusus, perintah akan mengasihi Tuhan adalah melebihi segala-galanya dalam hidup. Penekanan ini adalah sangat penting, mengingat bahwa pemiik kehidupan ini adalah Tuhan maka sikap hidup yang utama adalah takut akan Tuhan
2. Mengajarkan berulang-ulang kepada anak ( ayat 7 )
Ajaran tentang kasih dan tajkut akan Tuhan senantiasa dibicarakan kapan saja dan dimana saja, jika sedang duduk dalam rumah, sedang berjalan dalam perjalanan, ketika berbaring di tempat tidur hendak tidur, dan saat bangun tidur sekalipun. Pengajaran tentang kasih dan takut akan Tuhan senantiasa dibicarakan tak pernah putus di dalam sepanjang waktu saat matahari terbit sampai matahari terbenam, dalam bahasa Jawa ada istilah lambe sak tumang kari sak merang. Bahwa mengajarkan tantang kasih dan takut akan Tuhan tidak boleh berhenti barang sedikitpun
3. Menjadikan sebuah pedoman ( ayat 8 )
Ajaran-ajaran Tuhan harus melekat secara reflek baik di hati maupun dalam pikiran, sehingga itu menjadi sebuah pedoman yang baku setiap melangkah dalam kehidupan
4. Dibakukan dalam bentuk hukum tetulis ( ayat 9 )
Dan agar mempunyai kekuatan, maka semua ajaran itu dituliskan dan dijadikan sebagai undang-undang dasar
Nampakanya pola duplikasi yang dilakukan oleh bangsa Yahudi dari tahun ke tahun membuahkan hasil, Terbukti setelah sekian tahun dan sekian generasi kebiasaan yang dilakukan di masing-masing rumah tangga telah membentuk sebuah budaya bangsa, dan itu telah membentuk sebuah karakter bangsa yang kuat, yang sulit sekali untuk dikikiis mesti oleh sebuah kondisi yang mengiurkan sesaat.
Pertanyaan kita saat ini, kebiasan apa yan telah kita bentuk dalam keluarga kita masing-masing? Dan bagaimanakah proses duplikasinya? Kira-kira sampai tingkat generasi keberakah duplikasi tentang budaya yang kita berikan bisa bertahan? Generasi 1..ke 2..ke 3..apa samapi berabad-abad seperti orang Yahudi?
Sebenarnya bukan suatu kondisi yang mengherankan jika banyak orang tua yang merasa cemas jika anak-anaknya harus sekolah ataupu bekerja di kota besar, metropolitan seperti Jakarta. Alasan utama bukan karena biaya hidup melainkan karena lingkungan. Lingkungan kota metropolitan yang demikian dasyat, membuat para orang tua menjadi ngeri, jangan-jangan anak-anak nya akan ter erosi oleh pola budaya dan kehidupan orang kota yang penuh dengan kebebasan dan ujung-ujungnya adalah pengrusakan mental dan moral.
Jika hal itu yang telah menjadi sebuah kekuatairan masing-masing keluarga Kristen, hal itu memberikan suatu indikasi bahwa duplikasi terhadap ajaran takut akan Tuhan belum se kuat yang dimiliki oleh orang Yahudi. Bisa jadi kebiasaan yang dibentuk di dalam masing-masing keluarga adalah sekedar hanya dan belum sampai dalam suatu kedisplinan mental tentang ajaran takut akan Tuhan
Ini merupakan PR bagi keluarga Kristen, apalagi menghadapi situasi lingkungan yang sudah tidak terkendali seperti sekarang ini. Dimana krisis mental dan moral terjadi disana sini. Pembunuhan terhadap sesama sudah dianggap hal yang biasa. Rasa kemanusiaan sudah tidak ada lagi. Tugas kita untuk memperbaiki system pembelajaran dalam keluarga tentang takut akan Tuhan. Kita bisa mencontoh kehidupan bangsa Yahudi bagaimana mereka menanamkan konsep takut akan Tuhan dalam keluarga mereka sehingga kebiasaan itu membentuk karakter dan budaya bangsa dan kemudian didapati pemuda pemuda yang benar-benar tangguh dalam hal iman seperti Daniel dan teman-temannya. Jika kita mendapatkan anak cucu kita seperti Daniel masih takutkah kita melepaskan mereka ke tempat-tempat yang kita anggap mengerikan. Jawabnya pasti tidak.
Dengan pola kebiasaan dalam keluarga tentang pembelajaran takut akan Tuhan, maka mencetak sosok generasi seperti Daniel bisa tercapai. Seperti stalaktit dan stalamit terbentuk karen tetesan air kapur beribu-ribu tahun, demikian juga karakater dan budaya takut akan Tuhan dapat terbentuk jika masing-masing keluarga membiasakan untuk mengajarkan dan mengaplkasikan dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari tanpa jemu. Belum terlambat, mari kita segera memulai supaya generasi kita tidak punah oleh keganasan lingkungan
Tuhan memberkati
salam
nia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar